Terhadap Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjama’ah (4)



Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjama’ah (4)

Oleh : Gadis Manis

Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjama’ah (4)
Bagian ke-4 dari beberapa tulisan
Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama’ah?
Penulis: Ustadz Arifin Badri MA.
Pada edisi kali ini, satu persatu syubhat-syubhat dalam zikir berjama’ah pada buku “Zikir Berjamaah Sunnah Atau Bid’ah” Karya KH. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman MA.[*] dibantah secara ilmiah oleh ustadz Arifin Badri -hafidhohullah-.
Sebelum saudara-saudaraku membaca uraian yang panjang lebar ini, kami ingin bertanya, “sudahkah ikhwah membaca dengan cermat 3 edisi sebelumnya?”, “apakah ikhwah sudah memahaminya?”. Jika ikhwah belum membaca 3 edisi sebelumnya, maka kami sarankan untuk membacanya terlebih dahulu dan menunda membaca tulisan ini sebelum memahami 3 tulisan tersebut.
Dalam menjelaskan bantahan-bantahan ilmiahnya, ustadz seringkali menerapkan kaidah bahasa arab dan ushul fiqh, dan ini tentu saja agak membingungkan bagi saudaraku yang belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi, dari sinilah dapat diambil pelajaran, bahwa selama ini kita termakan dan hanyut di dalam berbagai syubhat, dikarenakan bodohnya diri kita terhadap ilmu agama dan jauhnya diri kita dari pemahaman yang benar.
Semoga dengan tulisan ini, saudara-saudaraku terpacu semangatnya untuk menuntut ilmu agama secara ilmiah dengan metode dan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman para sahabat rodiallahu’anhum sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.
[*] Baru-baru ini telah terbit buku berjudul “Syaikh Al-Albani Dihujat”, buah pena ustadz Abu Ubaidah -hafidhohullah- dengan muroja’ah oleh ust. Abdur Rahman At-Tamimi, ust. Aunur Rofiq, ust. Abdul Hakim Abdat, dan ust Mubarok Ba Mu’allim -hafidhohumullah-. Buku tersebut merupakan buku bantahan terhadap buku “Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan”, karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA. yang dengan kejinya menghujat dan membodoh-bodohi Syaikh Al-Albani -rohimahullah-. Ajaibnya, sang penulis (Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA) juga merupakan salah seorang anggota dewan Majlis Az-Zikra milik Arifin Ilham (sama seperti Kyai Dimyathi Badruzzaman yang bukunya sedang dibantah ini). Sungguh tepat ungkapan Syaikh Al-Albani yang dikutip oleh Ustadz Abu Ubaidah pada kata pengantar bukunya: “burung-burung itu biasanya berkumpul dengan sesama jenisnya”. [Tahrim Alat Tharb hal. 32]. Bagi saudara-saudaraku yang terlanjur membaca buku Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA. tersebut, sebaiknya juga membaca buku “Syaikh Al-Albani Dihujat” yang merupakan buku bantahan terhadap buku tersebut, agar saudaraku dapat mengambil faidah dan mengetahui realita yang sesungguhnya. Hanya kepada Allah lah kita meminta pertolongan…
ZIKIR BERJAMA’AH
A. Ayat-ayat al qur’an yang dianggap mensyariatkan zikir berjamaah.
Pada sub pembahasan ini, bapak Kyai menyebutkan tiga ayat Al Qur’an yang beliau klaim bahwa ketiga ayat ini mengisyaratkan kepada disyari’atkannya zikir berjama’ah, ayat-ayat itu ialah:
1. Ayat pertama:
يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kalian (dengan menyebut nama) Allah zikir yang banyak”. (Al Ahzab: 41).
Kemudian bapak Kyai berkata: “Ayat-ayat yang senada dengan ini dapat dibaca dalam Al Qur’an surah Al Baqarah, ayat: 152, dan ayat 200″.
Ayat 152 surah Al Baqarah ialah sebagai berikut:
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku”.
Adapun ayat 200, surah Al Baqarah, ialah sebagai berikut:
فإذا قضيتم مناسككم فاذكروا الله كذكركم آباءكم أو أشد ذكرا فمن الناس من يقول ربنا آتنا في الدنيا وما له في الآخرة من خلاق
“Apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah (menyebu namat) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara manusia ada yang berdo’a: Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat”.
2. Ayat kedua yang beliau cantumkan dalam bukunya:
الذين يذكرون الله ..
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah …”. (Ali Imran: 191).
3. Ayat ketiga yang beliau sebutkan ialah:
والذاكرين الله كثيرا والذاكرات ..
“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah ….”. (Al Ahzab: 35).
Setelah menyebutkan ketiga ayat ini, beliau (kyai Dimyathi -ed) berkata: “Pada firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yakni Q.S. Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, Q.S. Ali Imran ayat 191: Yadzkurunallah, dan Q.S. Al Ahzab ayat 35: Adz Dzaakiriinallah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi bahasa Arab, semua itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum, dan hunna) bukan dhamir mufrad/singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya zikir secara berjama’ah”.
Demikianlah kesimpulan dan pemahaman yang beliau utarakan.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Ulama’ siapa dan ulama’ mana yang memiliki pemahaman seperti pemahaman bapak ini? Dan kitab tafsir apa yang bapak jadikan rujukan, sehingga bapak berkesimpulan demikian ini??!! Ini adalah pemahaman orang yang baru belajar bahasa arab. Untuk membuktikan kekeliruan ini, mari kita simak ayat-ayat yang menggunakan metode serupa dengan ketiga ayat ini:
1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أن لا تعولوا
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, (bilamana kalian mengawininya) maka kawinilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) oleh kalian seorang wanita saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An Nisa’: 3).
Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan dhamir jama’/plural sebagaimana yang ada pada ketiga ayat di atas. Yang menjadi pertanyaan saya: Apakah bapak masih bersikukuh bahwa setiap ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural berarti ada isyarat untuk melakukannya secara berjama’ah?? Bila memang demikian, apakah pada ayat ini juga disyari’atkan untuk menikah berjama’ah? Apalagi pada akhir ayat Allah berfirman: “nikahilah oleh kalian seorang wanita saja”. Bila bapak katakan: ya, berarti bapak -na’uzubillah- akan memfatwakan bolehnya kumpul kebo, satu wanita dinikahi oleh seratus orang. Inilah kelaziman pemahaman bapak, dan inilah penerapan ilmu ushul fiqih bapak.
2. Pada ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحدكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah. Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. (Al Maidah: 6).
Saya ingin bertanya lagi: apakah ayat ini yang menggunakan dhamir jama’/plural mengisyaratkan untuk berwudhu dengan berjama’ah? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya bertayamum rame-rame (berjama’ah), bagi yang sakit dan safar, hanya karena ayatnya menggunakan dhamir jama’? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya mandi janabah masal, misalnya dipemandian umum, atau kolam renang umum, karena ayatnya menggunakan dhamir jama’?
3. Dalam ayat lain Allah berfirman:
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
“Istri-istri kalian adalah (seperti) ladang (tanah bercocok tanam) kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari sisi manapun kalian suka”. (Al Baqarah: 223)
Saya ingin bertanya lagi: ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural ini, juga mengisyaratkan untuk menjalankan amalan yang disebutkan dalamnya dengan cara berjama’ah (masal), sehingga dengan tidak langsung bapak menganjurkan para suami untuk menggauli istri-istrinya secara masal (satu ruang untuk beratus-ratus pasangan)?! Kalau demikian halnya, apa bedanya antara manusia dengan binatang?!
Kalau demikian ini pemahaman yang bapak Kyai anut, maka betapa jauhnya kekeliruan yang ada pada pemahaman bapak. Dan bila bapak tidak mengatakan demikian, berarti bapak telah meruntuhkan kaidah yang bapak bangun sendiri.
Bahkan pada ayat 191 surat Ali Imran Allah berfirman:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran: 191).
Saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Apakah ayat ini juga mengisyaratkan bahwa dianjurkan untuk berzikir berjama’ah sambil tiduran/berbaring?
Bila ada yang bertanya: Lalu bagaimana maksud dan pemahaman (pemahaman yang benar -ed) ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi Badruzzaman di atas?
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya harap para pembaca kembali membuka terjemahan Al Qur’an, dan membaca arti ketiga ayat di atas dengan seksama.
Setelah para pembaca membaca dengan seksama arti ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi, saya akan memulai mengajak pembaca untuk sedikit berkonsentrasi, karena yang akan saya sebutkan berikut ini adalah beberapa kaidah penting dalam ilmu ushul al fiqih.
Para ulama’ ahli ilmu ushul al fiqih mengatakan bahwa untuk mengungkapkan suatu makna yang bersifat umum, dikenal apa yang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan: shiyagh al ‘umum صيغ العموم “lafadz-lafadz yang menunjukkan akan makna yang bersifat umum”. Diantara shiyagh al umum ialah kata sambung الذين, yang hanya digunakan bila subyek jama’ /plural. Dan diantara shiyagh al ‘umum ialah kata-kata jama’, semacam الذاكرين “laki-laki yang berzikir” dan الذاكرات “wanita-wanita yang berzikir”.
Fungsi shiyagh al umum ialah untuk menunjukkan keumuman, sehingga kata itu mencakup seluruh orang yang memiliki kriteria seperti yang disebut dalam ungkapan itu. Misalnya, ayat 41 dari surat Al Ahzab di atas, fungsi penggunaan shiyagh al ‘umum, yaitu الذين, ialah agar mencakup setiap orang yang memiliki kriteria yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu kriteria keimanan. Dengan demikian perintah berzikir yang disebutkan dalam ayat ini tertuju kepada seluruh orang yang beriman. Dan ayat 35 dari surat Al Ahzab, yang menggunakan الذاكرين ialah agar janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa ampunan dan pahala yang besar didapat oleh seluruh orang yang banyak berzikir, baik lelaki atau perempuan. Inilah fungsi penggunaan shiyagh al’ umum bukan seperti yang disangka oleh bapak Kyai Dimyathi. [Agar lebih jelas, silahkan membaca kitab-kitab ushul al fiqih apa saja, pasti anda akan mendapatkan pembahasan dengan tema: Al ‘Umum. Sebagai misal: Al Mustasyfa oleh Al Ghozali 3/212-dst, Raudhat An Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 2/103-dst, Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 1/415-dst].
Perintah-perintah dalam Al Qur’an dan As Sunnah, ada yang telah diperinci dan disebutkan batasan-batasannya dengan jelas, dan ada yang tidak diperinci. Perintah jenis pertama disebut dengan Al Muqayyad, dan jenis kedua disebut dengan Al Muthlaq. Sebagai contoh jenis pertama yaitu Al Muqayyad ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena salah (dengan tidak sengaja). Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, maka ia harus memerdekakan seorang budak yang beriman (seorang budak mukmin), dan membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (orang yang terbunuh)”. (An Nisa’: 92).
Pada ayat ini hukuman orang yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, ialah memerdekakan seorang budak mukmin dan membayat diat (denda). Kata رقبة مؤمنة “seorang budak yang beriman” disebut muqayyad, karena budaknya telah disebutkan kriterianya dengan terperinci dan jelas, yaitu budak yang beriman. Dengan demikian bila ada seorang yang membunuh orang muslim lain tanpa disengaja, kemudian ia memerdekakan seorang budak nasrani, maka tidak sah, dan belum gugur kewajibannya.
Sebagai contoh jenis kedua yaitu Al Muthlaq ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق …
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, …… (Al Maidah: 6).
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita bila kita hendak mendirikan shalat agar berwudlu, dan Allah tidak menyebutkan perincian lebih lanjut tentang shalat yang kita diperintahkan untuk berwudlu karenanya, sehingga kata الصلاة “Shalat” disebut Muthlaq.
Setelah pembagian ini jelas bagi kita, saya akan nukilkan ucapan As Syaukani yang menjelaskan sikap kita dalam menghadapi kedua jenis perintah ini:
“Ketahuilah bahwa Al Khithab (dalil-dalil) bila datang dalam bentuk muthlaq dan tidak ada yang membatasinya (merincinya), maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan apa adanya (yaitu dalam keadaan muthlaq), dan bila datang dalam keadaan telah diberikan batasan-batasan (muqayyad) , maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan batasan-batasan itu …”. [Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 2/4].
Berdasarkan kedua kaidah dalam ilmu ushul fiqih ini, kita dapat memahami bahwa ketiga ayat di atas, bila dipandang dari sisi orang yang ditujukan kepadanya perintah untuk berzikir, maka kita katakan bahwa ketiga ayat itu bersifat umum, karena menggunakan dhamir jama’/plural sehingga mencakup seluruh orang mukmin, tanpa terkecuali, terlepas dari apakah mereka melakukannya dengan sendirian atau tidak.
Dan bila kita kita tinjau dari sisi amalan yang mereka diperintah dengannya yaitu zikir, ketiga ayat itu dikatakan ayat-ayat yang muthlaq, karena Allah subhanahu wa ta’ala pada ketiga ayat di atas tidak memberikan batasan-batasan tertentu, baik batasan yang berkaitan dengan bentuk zikirnya, juga yang berhubungan dengan metode, dan waktu pelaksanaannya.
Pemahaman ini akan menjadi jelas bila kita membaca ayat 41, kemudian dilanjutkan dengan membaca ayat 42 surat Al Ahzab:
يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (menyebutlah nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (Al Ahzab: 41-42).
Ayat ke-42 ini mengisyaratkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dapat dilakukan kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
Dan bila kita membaca ayat 191 surah Ali Imran, yaitu:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran: 191).
Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik disaat berdiri, atau duduk, atau berbaring.
Bahkan ayat 35 surat Al Ahzab secara khusus, Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah memberikan contoh orang-orang yang disebut “banyak berzikir kepada Allah Ta’ala”:
عن أبي سعيد وأبي هريرة رضي الله عنهما أن رسول الله قال: إذا أيقظ الرجل امرأته من الليل فصليا ركعتين، كتبا من الذاكرين الله كثيرا والذاكرات
“Dari Abi Sa’id dan Abi Hurairah -radhiallahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Bila seorang suami membangunkan istrinya pada malam hari, kemudian keduanya shalat dua raka’at, niscaya keduanya dicatat termasuk laki-laki dan wanita yang banyak berzikir kepada Allah”. (Riwayat Abu Dawud, 2/33, hadits no: 1309, Ibnu Majah 1/423, hadits no:1335, dan Al Hakim 2/452, hadits no: 3561).
Dimanakah zikir jama’ah seperti yang bapak Kyai pahami dalam hadits ini? yang ada hanyalah sepasang suami istri yang mendirikan shalat malam dua raka’at.
Pendek kata, tidak ada sedikitpun dalam ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak Kyai yang menunjukkan disyariatkannya zikir dengan berjama’ah. Dan menurut hemat saya, yang menyebabkan bapak Kyai terjatuh kedalam kesalahan fatal ini ialah, karena al ‘ujmah (kelemahan dalam penguasaan bahasa arab), sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu ‘Amr bin Al ‘Ala’ kepada salah seorang tokoh mu’tazilah (yaitu kelompok yang mengingkari taqdir) yang bernama ‘Amer bin ‘Ubaid:
من العجمة أتيت
“Karena Al “ujmah (kelemahan dalam penguasaan bahasa arab) yang ada pada dirimulah yang menjadikanmu terjatuh dalam kesalahan”. [Mizan Al I’itidal Fi Naqd Al Rijal, oleh Az Zahabi, 5/333, dan Tahzib At Tahzib, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 8/63].
Tatkala Al Hasan Al Bashri disebutkan kepadanya beberapa kesalahan sebagian Ahlil Ahwa’ Wal Bid’ah, ia berkata:
إنما أتي القوم من قبل العجمة
“Sesungguhnya mereka tersesat akibat ‘ujmah yang ada pada mereka”. [As Sunnah oleh Muhammad bin Naser Al Marwazi As Syafi’i hal: 8, dan Tahzib At Tahzib, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 3/371].
As Syathibi berkata:
ومنها تخرصهم على الكلام في القرآن والسنة العربيين مع العرو عن علم العربية الذي يفهم به عن الله ورسوله، فيفتاتون على الشريعة بما فهموا ويدينون به ويخالفون الراسخين في العلم، وإنما دخلوا في ذلك من جهة تحسين الظن بأنفسهم واعتقادهم أنهم من أهل الاجتهاد والاستنباط
“Diantara (sebab-sebab tersesatnya ahlul bid’ah) ialah mereka selalu berusaha mereka-reka maksud Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan bahasa arab, sedangkan mereka tidak menguasai ilmu bahasa arab, yang dengannyalah maksud Allah dan Rasul-Nya dapat dipahami. Sehingga mereka menyeleweng dari syari’at dengan pemahaman dan keyakinan mereka itu, sebagaimana mereka juga menyelisihi ulama’-ulama’ yang telah mendalam ilmunya. Dan yang menjadikan mereka terjerumus kedalam ini semua, karena mereka terlalu percaya dengan dirinya sendiri, dan menganggap bahwa mereka telah memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menyimpulkan hukum”. [Al I’ithisham, oleh As Syathibi 1/172].
B. Hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang diduga mensyari’atkan zikir berjama’ah.
Pada pembahasan ini, bapak kyai menyebutkan sepuluh hadits yang berkaitan dengan keutamaan majlis-majlis zikir, diantara hadits yang beliau sebutkan:
عن أبي هريرة وأبي سعيد الخدري أنهما شهدا على النبي أنه قال: لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده
“Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri -radhiallahu ‘anhuma-, mereka berdua bersaksi bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk menyebut nama Allah Azza wa Jalla (berzikir), melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan dipenuhi oleh kerahmatan, dan akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka akan disebut-sebut oleh Allah dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Imam Muslim 4/2074, hadits no: 2700).
Dan hadits:
عن أبي هريرة قال: قال النبي: يقول الله تعالى: أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا ذكرني، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bla ia mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”. (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits no: 6970).
Saya sengaja hanya menyebutkan kedua hadits ini, karena keduanya adalah hadits yang jelas-jelas hadits shahih, dan cukup mewakili hadits-hadits lain yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi.
Untuk mengetahui maksud dan makna hadits-hadits ini, mari kita simak bersama keterangan para ulama’ tentang maksud dari kata majlis zikir مجلس الذكر:
أبو هزان قال: سمعت عطاء بن أبي رباح يقول: من جلس مجلس ذكر كفر الله عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل، وإن كان في سبيل الله كفر الله بذلك المجلس سبعمائة مجلس من مجالس الباطل. قال أبو هزان: قلت لعطاء: ما مجلس الذكر؟ قال: مجلس الحلال والحرام، وكيف تصلي وكيف تصوم، وكيف تنكح و كيف تطلق، وتبيع وتشتري
“Abu Hazzan: Aku pernah mendengar Atha’ bin Abi Rabah (salah seorang tabi’in) berkata: “Barang siapa yang duduk di majlis zikir, maka Allah akan mengampuni dengannya sepuluh majlis kebathilan. Dan bila majlis zikir itu ia lakukan disaat berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan mengampuni denganya tujuh ratus (700) majlis kebathilan”. Abu Hazzan berkata: Aku bertanya kepada Atha’: Apakah yang dimaksud dengan majlis Zikir? Ia menjawab: yaitu majlis (yang membahas) halal dan haram, bagaimana engkau menunaikan shalat, bagaimana engkau berpuasa, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau menceraikan, bagaimana engkau menjual dan bagaimana engkau membeli”. (Riwayat Abu Nu’aim , dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’: 3/313).
Imam An Nawawi As Syafi’i, berkata:
إعلم أن فضيلة الذكر غير منحصرة في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير ونحوها، بل كل عامل لله تعالى فهو ذاكر لله تعالى، كذا قاله سعيد بن جبير رضي الله عنه وعن غيره من العلماء، وقال عطاء رحمه الله: مجالس الذكر هي مالس الحلال والحرام وكيف تشتري وتبيع وتصلي وتصوم وتنكح وتطلق وتحج وأشباه هذا
“Ketahuilah bahwa keutamaan/ pahala berzikir tidak hanya terbatas pada bertasbih, bertahlil,bertahmid (membaca alhamadulillah), bertakbir, dan yang serupa. Akan tetapi setiap orang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala, berarti ia telah berzikir kepada Allah Ta’ala, demikianlah dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan ulama’ yang lainnya. Atha’ (bin Abi Rabah) berkata: “Majlis-majlis zikir ialah majlis-majlis yang membicarakan halal dan haram, bagaimana engkau membeli dan menjual, mendirikan shalat, berpuasa, menikah, menceraikan, berhaji dan yang serupa dengan ini”. [ Al Azkar, oleh Imam An Nawawi 9].
Pakar hadits dan fiqih abad ke-9 H, yaitu Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata:
والمراد بالذكر هنا، الإتيان بالألفاظ التي ورد الترغيب في قولها والإكثار منها مثل الباقيات الصالحات، وهي: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، وما يلتحق بها من الحوقلة والبسملة والحسبلة والاستغفار، ونحو ذلك، والدعاء بخيرى الدنيا والآخرة. ويطلق ذكر الله أيضا ويراد به المواظبة على العمل بما أوجبه أو ندب إليه كتلاوة القرآن وقراءة الحديث ومدارسة العلم والتنفل بالصلاة. ثم الذكر يقع تارة باللسان ويؤجر عليه الناطق ولا يشترط استحضاره لمعناه، ولكن يشترط أن لا يقصد معناه، وإن انضاف إلى النطق الذكر بالقلب فهو أكمل، فإن انضاف إلى ذلك استحضار معنى الذكر وما اشتمل عليه من تعظيم الله تعالى ونفي النقائص عنه، ازداد كمالا. فإن وقع ذلك في عمل صالح مهما فرض من صلاة أو جهاد أو غيرهما ازداد كمالا، فإن صحح التوجه وأخلص لله تعالى في ذلك، فهو أبلغ الكمال. وقال الفخر الرازي: المراد بذكر اللسان الألفاظ الدالة على التسبيح والتحميد والتمجيد، والذكر بالقلب التفكر في أدلة الذات والصفات، وفي أدلة التكاليف من الأمر والنهي حتى يطلع على أحكامها وفي أسرار مخلوقات الله والذكر بالجوارح هو أن تصير مستغرقة في الطاعات، ومن ثم سمى الله الصلاة ذكرا فقال: فاسعوا إلى ذكر الله
[Fath Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 11/209, baca juga Subul Al Salam, oleh Muhammad bin Ismail Al Shan’ani 4/390-dst, Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ At Tirmizi, oleh Al Mubarakfuri 9/222].
“Dan yang dimaksud dengan zikir di sini ialah: mengucapkan bacaan-bacaan yang dianjurkan untuk diucapkan dan diulang-ulang, misalnya bacaan yang disebut dengan Al Baqiyaat As Shalihat, yaitu: Subhanallah, wa alhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wa Allahu Akbar, dan bacaan-bacaan lain yang serupa dengannya, yaitu : Al hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billah), Basmalah, hasbalah (hasbunaallah wa ni’ima al wakil), dan istighfar, dan yang serupa, dan juga doa memohon kebaikan di dunia dan akhirat. Kata Az Zikir kepada Allah bila disebut juga dapat dimaksudkan: kita terus-menerus mengamalkan amalan-amalan yang diwajibkan atau disunnahkan oleh Allah, seperti membaca Al Qur’an, membaca hadits, mempelajari ilmu, dan menunaikan shalat sunnah. Kemudian zikir kadang kala dapat dilakukan dengan lisan, dan orang yang mengucapkannya akan mendapatkan pahala, dan tidak disyarat untuk selalu mengingat kandungannya, tentunya dengan ketentuan selama ia tidak memaksudkan dengan bacaan itu selain dari kandungannya.(*) Bila bacaan lisannya disertai dengan zikir dalam hatinya, maka itu lebih sempurna, dan bila zikir ini disertai dengan penghayatan terhadap kandungan bacaan itu, yang berupa pengagungan terhadap Allah, dan mensucikan-Nya dari segala kekurangan, niscaya itu akan lebih sempurna. Bila zikir semacam ini terjadi di saat ia mengamalkan amal shaleh yang diwajibkan, seperti shalat fardhu, jihad dan lainnya, niscaya akan semakin sempurna. Dan bila ia meluruskan tujuan dan ikhlas karena Allah, maka itu adalah puncak kesempurnaan.
(*) Misalnya: ketika ia membaca dzikir Subhanallah yang artinya “Maha Suci Allah”, akan tetapi ia memaksudkan dari bacaan ini: ia memohon perlindungan agar terhindar dari penyakit atau yang serupa.
Al Fakhrurrazi berkata: Yang dimaksud dengan zikir dengan lisan ialah mengucapkan bacaan-bacaan yang mengandung makna tasbih (pensucian) tahmid (pujian) dan tamjid (pengagungan). Dan yang dimaksud dengan zikir dengan hati ialah: memikirkan dalil-dalil yang menunjukkan akan Dzat dan Sifat-sifat Allah, juga memikirkan dalil-dalil taklif (syari’at), berupa perintah, dan larangan, sehingga ia dapat mengerti hukum-hukum taklifi (hukum-hukum syari’at yang lima, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), dan juga merenungkan rahasia-rahasia yang tersimpan pada makhluq-makhluq Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan zikir dengan anggota badan ialah: menjadikan anggota badan sibuk dengan amaliah ketaatan, oleh karena itulah Allah menamakan shalat dengan sebutan Zikir, Allah berfirman: “Maka bersegeralah kamu menuju zikir kepada Allah (yaitu shalat jum’at)” (Al Jum’ah: 9).
Pengertian tentang makna zikir yang disampaikan oleh seorang tabi’in murid para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan dijabarkan Ibnu Hajar ini, selaras dengan hadits berikut:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله : وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum (sekelompok orang) duduk di salah satu rumah Allah (yaitu masjid), mereka membaca kitabullah (Al Qur’an) dan bersama-sama mengkajinya (mempelajarinya), melainkan akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka dipenuhi oleh kerahmatan, dan dinaungi oleh para malaikat, dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim).
Tatkala Imam An Nawawi mensyarah hadits ini, beliau berkata: “Dan -insya Allah- keutamaan ini juga diperoleh bagi orang-orang yang berkumpul di sekolahan-sekolahan, tempat-tempat pengajian dan yang serupa dengan keduanya, sebagaimana halnya berkumpul di masjid”. [Syarah Shahih Muslim, oleh An Nawawi 17/22].
Inilah yang dimaksud dengan kata zikir yang disebutkan dalam hadits-hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi. Dengan demikian hadits-hadits ini bersifat umum, mencakup segala amaliah ketaatan, baik berupa ucapan lisan, atau amalan batin, atau amalan anggota badan.
Bila ini telah jelas bagi kita semua, saya akan bertanya kepada bapak Kyai Dimyathi: Dari manakah bapak Kyai mendapatkan kesimpulan bahwa yang dimaksud dari hadits-hadits ini adalah hanya zikir berjama’ah ala murid bapak Muhammad Arifin Ilham? Dalil-dalil yang bapak gunakan ternyata terlalu umum, bila dibanding dengan klaim bapak, sehingga dalil bapak tidak kuat dan klaim bapak tidak dapat diterima.
Agar lebih jelas lagi, mari kita simak penuturan sahabat Anas bin Malik berikut ini:
عن محمد بن أبي بكر الثقفي أنه سأل أنس بن مالك وهما غاديان من منى إلى عرفة: كيف كنتم تصنعون في هذا اليوم مع رسول الله ، فقال: كان يهل المهل منا فلا ينكر عليه ويكبر المكبر منا فلا ينكر عليه
“Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats Tsaqafi, bahwa ia pernah bertanya kepada sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu tatkala ia bersamanya berjalan dari Mina menuju ke padang Arafah: Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada hari seperti ini? Maka beliau menjawab: Dahulu ada dari kami yang membaca tahlil, dan tidak diingkari, dan ada dari kami yang membaca takbir, juga tidak diingkari”. (Riwayat Muslim 2/933, hadits no:1285).
Inilah salah satu contoh nyata metode berzikir yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, masing-masing berzikir dengan sendiri-sendiri, tidak dengan dikomando oleh satu orang, kemudian yang lainnya mengikuti, sebagaimana yang dilakukan oleh, Muhammad Arifin Ilham, dan kebanyakan para pembimbing manasik haji yang selalu mengomando jama’ahnya tatkala berzikir, dengan satu suara dan satu bacaan pula.
Kisah yang dituturkan oleh sahabat Anas bin Malik tentang metode berzikir yang dilakukan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya inilah yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dalam ucapannya, tatkala melihat segerombol orang berzikir berjama’ah:
والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة
“Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini sedang menjalankan ajaran (dalam berzikir) yang lebih benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan”. (Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204, riwayat ini hasan atau shahih lighairihi, karena diriwayatkan melalui beberapa jalur).
Maksud beliau rodhiallahu’anhu ialah: Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya bila berzikir, tidak dengan cara dikomando oleh satu orang, dengan satu suara dan bacaan yang sama, akan tetapi masing-masing berzikir dengan sendiri-sendiri. Terlebih-lebih bila kata zikir ditafsirkan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, sehingga mencakup majlis-majlis ilmu. Dan sebagai bukti akan penjelasan Ibnu Hajar diatas, akan saya sebutkan beberapa kisah berikut:
قال عقبة بن عمرو لحذيفة ألا تحدثنا ما سمعت من رسول الله قال: إني سمعته يقول: إن مع الدجال إذا خرج ماء ونارا فأما الذي يرى الناس أنها النار فماء بارد وأما الذي يرى الناس أنه ماء بارد فنار تحرق فمن أدرك منكم فليقع في الذي يرى أنها نار فإنه عذب بارد……… قال عقبة بن عمرو: وأنا سمعته يقول ذاك
“Sahabat Uqbah bin ‘Amr berkata kepada sahabat Huzaifah: Sudikah engkau membacakan apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Maka Huzaifah berkata: Aku pernah mendengar beliau bersabda: Sesungguhnya tatkala Dajjal keluar kelak, ia akan membawa air dan api. Adapun yang ditunjukkan kepada orang-orang bahwa itu adalah api, maka itu sebenarnya adalah air yang dingin, sedangkan yang ditunjukkan kepada orang-orang bahwa itu adalah air, maka itu sebenarnya adalah api yang membakar. Sehingga barang siapa yang menemuinya, maka hendaknya ia menceburkan dirinya kepada yang ia tunjukkan sebagai api, karena sesungguhnya itu adalah air yang dingin ….. (setelah Huzaifah selesai membacakan hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam) Uqbah bin ‘Amr rodhiallahu’anhu berkata: Aku juga pernah mendengarkan beliau bersabda demikian itu”. (Riwayat Bukhori, 3/1272, hadits no: 3266).
Pada kisah ini sahabat Uqbah bin ‘Amr meminta sahabat Huzaifah untuk menyebutkan hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan setelah selesai sahabat Uqbah ternyata pernah mendengar semua hadits yang sahabat Huzaifah bacakan. Ini salah satu bukti bahwa mereka bila bertemu saling mengingatkan tentang ilmu yang dimiliki oleh masing-masing mereka, bukan dengan cara membaca zikir yang dikomando oleh satu orang, kemudian ditirukan oleh yang lainnya.
Contoh lain:
عن شقيق قال كان عبد الله وأبو موسى جالسين وهما يتذاكران الحديث، فقال أبو موسى: قال رسول الله: بين يدي الساعة أيام يرفع فيها العلم وينزل فيها الجهل ويكثر فيها الهرج ,والهرج القتل.
“Dari Syaqiq (bin Salamah) ia berkata: Suatu saat sahabat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk bersama, dan keduanya saling mengingat-ingat hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kemudian Abu Musa berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sebelum datangnya kiyamat, akan ada hari-hari yang pada saat itu ilmu akan diangkat, dan diturunkan kebodohan (kebodohan merajalela), dan akan banyak terjadi al haraj”, dan al haraj ialah pembunuhan”. (Riwayat Bukhori 6/2590, hadits no: 6653, Muslim 4/2056, hadits no: 2672, dan Ahmad dalam kitab Al Musnad, 4/392).
Contoh lain:
قال أبو سلمة بن عبد الرحمن: كان عمر بن الخطاب يقول لأبي موسى وهو جالس في المجلس: يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ عنده أبو موسى وهو جالس في المجلس ويتلاحن
“Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: Dahulu sahabat Umar (bin Al Khatthab) berkata kepada sahabat Abu Musa di saat ia duduk di majlis: Wahai Abu Musa, ingatkanlah kita tentang Tuhan kita! Maka Abu Musa-pun sambil duduk di majlis membaca (Al Qur’an), dan beliau memerdukan suaranya”.(Riwayat Ad Darimi 2/564, no:3493, Ibnu Hibban, 16/168, no:7196, Abdurrazzaq dalam al Mushannaf 2/486, no:4179, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah Al Auliya’ 1/258).
Semacam inilah majlis zikir yang dilakukan oleh para sahabat dan ulama’ terdahulu. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
عن أبي عثمان قال: كتب عامل لعمر بن الخطاب إليه: أن ههنا قوما يجتمعون فيدعون للمسلمين وللأمير، فكتب إليه عمر: أقبل وأقبل بهم معك. فأقبل وقال عمر للبواب: أعد لي سوطا، فلما دخلوا على عمر أقبل على أميرهم ضربا بالسوط.
“Dari Abi Utsman (An Nahdi) ia berkata: Salah seorang gubernur pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab menuliskan laporan yang isinya: Sesungguhnya di wilayah saya, ada suatu kelompok orang yang berkumpul-kumpul kemudian berdoa bersama-sama untuk kaum muslimin dan pemimpin. Maka Umar menulis surat kepadanya: Datanglah dan bawa mereka besertamu. Maka gubernur itu datang, (dan sebelum ia datang) Umar telah memerintahkan penjaga pintunya untuk menyiapkan sebuah cambuk. Dan tatkala mereka telah masuk ke ruangan, spontan Umar langsung memukul pemimpin kelompok itu dengan cambuk”. (Riwayat Ibnu Abi Syibah dalam kitabnya Al Mushannaf 5/290, no: 26191).
Bahkan seandainya bapak Kyai sedikit merenungkan hadits Abu Hurairah di atas:
عن أبي هريرة قال: قال النبي: يقول الله تعالى: أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا ذكرني، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bila ia mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”. (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits no: 6970). Niscaya Bapak Kyai tidak akan berkesimpulan demikian ini. Sebab dalam hadits ini Allah berfirman: “bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”, ini menunjukkan bahwa ia berzikir sendirian, akan tetapi ditempat keramaian, atau ditengah-tengah suatu majlis. Seandainya yang dimaksud dari hadits ini ialah ia berzikir dengan cara berjama’ah, saya rasa firman-Nya tidak seperti itu bunyinya, akan seperti berikut: Bila ia mengingat-Ku dengan berjama’ah/ ramai-ramai.
Adapun ayat 28 dari surat Al Kahfi, yaitu:
واصبر نفسك مع الذين يدعو ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru (berdoa) kepada Tuhannya di waktu pagi dan senja, mengharapkan Wajah Allah (keridhaan-Nya)”, maka untuk memahami maksud ayat ini dengan jelas, mari kita simak bersama keterangan Imamul mufassirin, yaitu Ibnu Jarir At Thabari:
يقول تعالى ذكره لنبيه محمد : واصبر يا محمد نفسك مع أصحابك الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي بذكرهم إياه بالتسبيح والتحميد والتهليل والدعاء والأعمال الصالحة من الصلوات المفروضة وغيرها يريدون بفعلهم ذلك وجهه لا يريدون عرضا من عرض الدنيا
“Allah Ta’ala berfirman kepada Nabinya Muhammad shollallahu’alaihiwasallam: Bersabarlah engkau wahai Muhammad, bersama sahabat-sahabatmu yang menyeru Tuhannya, di waktu pagi dan senja, yaitu dengan mengingat-Nya dengan ucapan tasbih, tahmid, tahlil, doa, dan amal-amal shaleh lainnya, seperti: shalat-shalat fardhu dan lainnya. Mereka mengharapkan dengan perbuatan itu Wajah-Nya (keridhaan-Nya) dan tidak mengharapkan kepentingan dunia apapun”. [Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Aay Al Qur’an, oleh Ibnu Jarir At Thabari 15/234].
Dan pada kesempatan lain, beliau berkata: “Berdoa (menyeru) kepada Allah, dapat berupa mengagungkan dan memuji Allah dalam bentuk ucapan dan perkataan. Dan doa juga dapat berwujud ibadah kepada-Nya dengan anggota badan, baik itu ibadah yang diwajibkan atas mereka atau lainnya yang berupa amalan sunnah yang menjadikan-Nya ridha, dan pelakunya dikatakan telah beribadah kepada-Nya dengan amalan itu. Dan sangat dimungkinkan bahwa mereka -orang-orang yang dikatakan menyeru kepada Allah pada waktu pagi dan senja- melakukan semua macam ibadah ini, sehingga Allah mensifati mereka dengan sebutan: orang-orang yang menyeru Allah pada waktu pagi dan senja, karena Allah telah menyebut Al Ibadah dengan sebutan doa, Allah Ta’ala berfirman:
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, akan masuk neraka Jahnnam dalam keadaan hina dina”. (Ghafir/Al Mukmin: 60).
Inilah maksud dari kata doa dalam ayat 28 surah Al Kahfi, dengan demikian bila kita gabungkan pemahaman ini dengan pemahaman kata zikir, niscaya akan menjadi jelas bahwa tidak sedikitpun ada dalil atau isyarat yang menunjukkan akan disyari’atkannya zikir berjamaah ayat 28 surah Al Kahfi ini.
Apalagi bila kita menggabungkan pemahaman ini dengan pemahaman terhadap hadits berikut:
عن أبي سعيد قال: اعتكف رسول الله في المسجد فسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال: ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
“Dari Abi Sa’id ia berkata: Suatu saat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam beri’itikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang saling mengeraskan suara bacaan mereka, maka beliau membuka tabir dan bersabda: Ketahuilah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah kalian saling mengeraskan dalam bacaan kalian, atau beliau bersabda: (janganlah saling mengeraskan) dalam shalat kalian”. (Riwayat Abu Dawud 2/57, hadits no: 1332).
Saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Zikir berjama’ah ala Muhammad Arifin Ilham, bukankan dengan suara yang keras, apalagi dengan menggunakan dua microfon, satu di tangan, dan yang lain diselipkan di kerah bajunya? Bukankah suara yang akan ditimbulkan oleh sound sistem akan terdengar keras sekali? Dan Bukankah suara jama’ah yang mengikuti bacaannya akan semakin menambah keras suara? Apakah ini semua selaras dengan hadits ini??! Buktikan kepada saya dan seluruh kaum muslimin di dunia bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam, atau salah seorang sahabatnya melakukan zikir dengan satu suara, satu bacaan dan dengan suara keras semacam ini?
C. Fatwa ulama’ tentang zikir berjama’ah:
1. Imam Syafi’i berkata:
وأختار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة، ويخفيان الذكر، إلا أن يكون إماما يحب أن يتعلم منه، فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه، ثم يسر. فإن الله عزو وجل يقول: ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها, يعنى: -والله تعالى أعلم- الدعاء. ولا تجهر: ترفع، ولا تخافت: حتى لا تسمع نفسك
“Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir kepada Allah seusai shalat, dan hendaknya mereka merendahkan (memelankan) zikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (zikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia merasa bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya (Al Isra’: 110)”. Maksud kata الصلاة -wallahu Ta’ala a’alam- ialah: doa. Laa Tajhar: jangan engkau mengangkat suaramu, wa laa tukhofit: jangan engkau rendahkan hingga engkau sendiri tidak mendengarnya“. [Al Umm, oleh Imam As Syafi’i 1/127].
2. Imam Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani As Syafi’i, setelah menyebutkan berbagai riwayat tentang zikir-zikir Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, ia menyimpulkan:
فتحمل رواية من روى أنه دعا وجهر، على أنه أراد بذلك ليتعلم الناس، وتحمل رواية من روى أنه مكث قليلا ثم انصرف على أنه دعا سرا بحيث يسمع نفسه
“Riwayat perawi yang meriwayatkan bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam berdoa dan mengeraskan suaranya, ditafsiri bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam melakukan hal itu agar para sahabatnya belajar dari beliau. Dan riwayat perawi yang menyebutkan bahwa beliau (seusai shalat) diam sejenak kemudian berdiri dan pergi, ditafsiri bahwa beliau berdoa dengan merendahkan suaranya, sehingga beliau hanya memperdengarkan dirinya sendiri”. [Al Bayan, oleh Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani, 2/250].
3. Imam An Nawawi berkata:
قال أصحابنا: إن الذكر والدعاء بعد الصلاة يستحب أن يسر بهما إلا أن يكون إماماً يريد تعليم الناس فيجهر ليتعلموا، فإذا تعلموا وكانوا عالمين أسرَّه
“Ulama’ mazhab Syafi’i (ashhabunaa), berkata: Zikir dan doa setelah shalat, disunnahkan untuk dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali bila ia seorang imam dan hendak mengajari orang-orang (makmum), maka dibolehkan untuk mengeraskan suaranya, agar mereka belajar darinya, dan bila dirasa mereka telah cukup belajar dan sudah tahu, maka hendaknya ia kembali merendahkannya“. [Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, oleh Imam An Nawawi 3/469].
Dari kedua penjelasan ini jelaslah bahwa zikir itu dilakukan sendiri-sendiri, sehingga yang sunnah ialah dengan cara merendahkan suara, kecuali bila sang imam merasa bahwa jama’ahnya belum bisa berzikir, maka ia dianjurkan untuk mengajari mereka dengan cara mengeraskan suaranya. Dan bila dirasa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkan suaranya. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa berzikir dengan satu suara dan dikomando oleh satu orang, baik itu seorang imam atau lainnya tidak sesuai dengan sunnah.
Dan fatwa Imam An Nawawi ini sekaligus memperjelas maksud beliau dari perkataannya yang dinukilkan oleh bapak Kyai Dimyathi. Bahwa pada dasarnya zikir dan doa itu dilakukan dengan cara merendahkan suara, terlebih-lebih tatkala ia melakukan zikir itu sedang berada di tengah-tengah majlis, atau di dalam barisan shaf. Sehingga perkataan beliau dalam kitabnya Al Majmu’ menepis kesalah pahaman bapak Kyai Dimyathi. Dengan demikian yang dimaksud dari ucapan Imam An Nawawi berikut ini:
إعلم كما أنه يستحب الذكر يستحب الجلوس في حلق أهله، وقد تظاهرت الأدلة على ذلك
“Ketahuilah, sebagaimana zikir itu sunnah hukumnya, begitu juga duduk di majlis ahli zikir, karena telah banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan itu” [Al Azkar, oleh An Nawawi hal: 8], bukan hanya sekedar majlis orang yang membaca zikir atau wiridan saja, akan tetapi, mencakup pengajian-pengajian, sekolahan-sekolahan agama dll.
Kemudian pada perkataa Imam An Nawawi di atas tidak didapatkan sedikitpun isyarat yang menunjukkan bahwa orang-orang yang menghadiri majlis zikir itu melakukan zikir, doa dan wiridannya dengan cara dikomando oleh satu orang, atau dengan membaca satu bacaan atau dengan satu suara. Yang ada hanyalah anjuran menghadiri majlis zikir, apapun perwujudan majlis itu, baik majlis itu berupa sekolahan, pengajian, ceramah, seminar, belajar membaca Al Qur’an, mendengarkan orang yang sedang membaca Al Qur’an, atau berzikir dengan sendiri-sendiri, sebagaimanan yang dahulu dilakukan oleh sahabat nabi shollallahu’alaihiwasallam, atau yang lainnya.
Demikian pula halnya dengan fatwa ulama’ lain yang telah dinukilkan ucapannya oleh bapak Kyai Dimyathi.
Dan menurut hemat saya, yang menjadikan bapak Dimyathi salah paham terhadap ayat-ayat, hadits-hadits dan perkataan ulama’ seputar masalah zikir dan tata-cara pelaksanaannya, ialah karena beliau mengambil dan memahami dalil-dalil dan keterangan ulama dengan separuh-paruh, tidak menyeluruh. Seandainya beliau mengumpulkan seluruh dalil dan berbagai keterangan ulama’, kemudian semuanya dipahami secara bersamaan dan sebagian darinya dijadikan alat untuk memahami sebagian yang lain, niscaya -insya Allah- bapak Kyai akan terhindar dari kesalah pahaman.
D. Konsekuensi memvonis bid’ah kepada amaliah yang sebenarnya sunnah.
Pada pembahasan ini, saya hanya ingin berkata kepada bapak KH. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA. Baca dan renungkanlah kembali tulisan bapak pada pembahasan ini, semoga dapat menjadi pelajaran penting dan pengalaman yang tak terlupakan selama hidup. Kemudian setelah selesai membaca kembali, silahkan bapak membaca dan merenungkan kembali tulisan bapak pada halaman: 40, yaitu ucapan bapak: “Dari hadits yang tidak diragukan kesahihannya ini, begitu jelas dan tegas bahwa shalat tarawih berjama’ah secara terus menerus sebulan penuh dalam bulan Ramadhan itu adalah perbuatan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam”.
Dengan mengucapkan: Subhanallah, inikah bukti dari apa yang dikabarkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, dalam ucapannya:
كيف أنتم إذا لبستكم فتنة يهرم فيها الكبير ويربو فيها الصغير ويتخذها الناس سنة، فإذا غيرت قالوا: غيرت السنة. قيل: متى ذلك يا أبا عبد الرحمن؟ قال: إذا كثرت قراؤكم وقلت فقهاؤكم وكثرت أموالكم وقلت أمناؤكم والتمست الدنيا بعمل الآخرة
“Bagaimanakah sikapmu, bila kamu telah dilanda oleh suatu fitnah terus menerus, sehingga orang-orang dewasa mencapai usia pikun, dan anak kecil mencapai usia dewasa dalam suasana seperti itu, dan masyarakat telah menganggap fitnah itu sebagai suatu amalan sunnah, sehingga bila fitnah itu diingkari (ditentang), mereka berkata: Amalan sunnah telah dirubah (ditentang)”. Dikatakanlah kepadanya: Kapankah yang demikian itu dapat terjadi, wahai Abu Abdirrahman? Beliau menjawab: “Bila ahli qira’at (bacaan) kalian telah banyak, sedangkan ahli fiqih (pemahaman) dari kalian hanya sedikit, harta kalian telah melimpah, dan orang-orang yang memiliki rasa amanat jumlahnya jarang dijumpai, dan bila kehidupan dunia digapai dengan sarana amalan akhirat (ibadah)”. (Riwayat Ad Darimi 1/75, no: 185, Ibnu Abi Syaibah 7/452, 37156, dan Al Hakim 4/560, no: 8570).
Zikir berjama’ah telah diklaim sunnah, sedangkan shalat tarawih berjamaah, dan berdoa’ tanpa mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah telah diklaim bid’ah.
Banyak orang merasa berang tatkala dikatakan kepadanya: Zikir berjama’ah adalah bid’ah.
Banyak pemuka masyarakat yang kaget tatkala dikatakan bahwa tasawuf adalah bid’ah.
Ya Allah lindungilah kami dan keturunan kami dari fitnah ini, dan tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus.
(bersambung)


Baca Juga: Bacaan lengkap tentang sejarah islam

Comments

Popular posts from this blog

Setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kelemahan Jelaskan kelebihan dan kelemahan Pendekatan Sistem

Soal Diskusi 7 Pengantar Ilmu Ekonomi

Kisi Kisi Bahasa Inggris Niaga Universitas Terbuka